forsythea

slight kiss

Soojin menaruh ponselnya sembarang dan kini sedang menatap langit kamar milik alpha di sampingnya. Ia terlalu pusing dengan masalah yang terjadi, memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk membereskan semuanya sampai membuat omega bermarga Lee itu diam termenung selama beberapa menit.

Mengerang kesal karena semua ini adalah salahnya dari awal. Soojin bangkit dan menoleh menatap Soeun yang masih tertidur pulas. Punggungnya terekspos begitu saja dan ia bisa melihat dengan jelas bekas cakaran di sana.

Hening kembali menyelimuti ruangan tersebut tatkala Soojin hanya menatap punggung Soeun, sesekali mengelusnya lembut.

Entah dorongan dari mana Soojin mendekat, ia mencium beberapa kali area di sekitar punggung Soeun sambil menghirup feromon angin laut sang Alpha.

Pikirannya melayang ketika mereka masih berteman, bermain bersama hingga semuanya berubah disaat hasil tes Soeun keluar, menunjukan bahwa dirinya adalah seorang alpha. Saat Soojin memberitahu ayahnya bahwa Soeun adalah alpha, reaksi sang Ayah berbanding terbalik dengan ekspektasi omega kecil itu.

Soojin pikir ayahnya akan ikut senang mendengar berita tersebut tetapi kenyataannya tidak. Ayahnya diam selama beberapa detik sampai akhirnya tersenyum lalu mengelus kepala Soojin lembut dan setelahnya pergi keluar rumah tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Semua diperparah dengan kejadian itu, kejadian yang bahkan Soojin tak mau ingat.

“Ssong..”

Tanpa sadar dirinya menangis, meneteskan beberapa air mata ke punggung sang Alpha, memanggil lirih nama panggilan Soeun sewaktu kecil.

Soojin bangkit, memutuskan untuk tidak mengganggu Soeun di waktu tidurnya yang berharga. Ia memakai celana dalamnya sampai akhirnya diam kembali karena kemeja putih miliknya tidak ada di lantai.

“Ke mana, ya?” batin Soojin. Selama lima belas detik ia mencari tak kunjung menemukan kemeja miliknya, Soojin memutuskan untuk mengambil dan memakai kemeja milik Soeun yang ada di lemari.

Oversized memang untuknya, tapi tak apa selagi masih bisa menutup tubuhnya. Toh, lagipula rencananya ia akan pulang besok pagi.

Soojin keluar dari kamar Soeun dan kini memutuskan untuk melihat sekeliling ruang tengah apartemen alpha tersebut. Semuanya tertata dengan rapih. Ia menatap ke arah jendela di sana dan memutuskan untuk menutupnya menggunakan gorden karena sudah malam.

Omega itu hendak pergi ke arah dapur, melihat apakah ada makanan di sana sampai sebuah bingkai foto yang terletak di meja dekat televisi menghentikan langkah kakinya.

Ia mengambil bingkai tersebut dan menatap foto yang ada di dalamnya; foto dirinya bersama Soeun sewaktu kecil di sebuah taman bermain. Soojin masih ingat tentu saja, saat itu mereka masih belum tahu akan menjadi apa; alpha atau omega, makanya semua berjalan baik-baik saja.

Soojin tersenyum melihat foto itu sampai sebuah suara mengagetkannya.

“Enggak pulang?”

Itu Soeun, berdiri di ambang pintu dengan kedua lengan tersilang di dada. Ia memakai celana pendek dan baju berwarna biru. Soojin menaruh bingkai foto tersebut di meja lalu menggelengkan kepalanya.

“Kenapa gak pulang? Rut gue udah selesai, begitu pun tugas lo. Pulang gih, dicariin tunangan tuh,” ujar Soeun. Ia berjalan menuju dapur, melewati Soojin yang berdiri diam di ruang tengah dekat sofa.

“Soeun, gue—”

“Pulang, Soojin. Enyahlah.”

Mendengar perkataan Soeun yang ternyata mirip dengan ucapannya sewaktu di restoran membuat Soojin marah. Ditambah dengan feromon Soeun yang berubah menjadi kayu bakar sekarang ini. Apakah Soeun membencinya sekarang? Setelah semalam ia berusaha dan berjanji akan memperbaiki semuanya?

Omega itu berjalan menghampiri Soeun yang sedang memakan sebuah anggur. Soojin mendorongnya hingga alpha tersebut kini berada di antara Soojin dan meja konter dapurnya.

Soeun bisa mencium feromon lavender Soojin yang menguat, menandakan omega itu sedang dipenuhi oleh perasaan marah, sedih, apa pun itu yang sedang ia rasakan.

“Gue mau beresin semua masalah yang ada! Gue mau stop denial tapi kenapa sekarang lo yang begini?!” geram sang Omega.

Soeun masih diam dan hanya menatap Soojin datar, tak ada ekspresi apa pun di wajahnya.

“Heesung tau kita heat partner, dia tau kalau gue masih sayang sama lo!”

Kini Soeun tersenyum remeh, ia hendak keluar dari kurungan omega di hadapannya tapi Soojin menahan tangan alpha itu di meja konter bersamaan dengan tangannya sendiri.

“Caranya? Emang lo tau cara beresin semua masalah ini?”

“Kita tetep stay jadi heat partner dulu, biar gue yang ngomong sama ayah. Biar gue yang benerin semuanya, biar gue yang.. yang—”

Oh, tidak. Soojin terlalu larut dalam emosinya, membuat ia tidak bisa berpikir jernih dan berbicara dengan benar. Jahat memang kalau Soeun sebenarnya hanya berpura-pura soal tingkahnya setelah bangun tadi.

“Soojin,” panggil Soeun dengan suaranya yang lirih. Omega itu mendongak perlahan dan yang ia dapatkan adalah ciuman di bibirnya.

“Mmh, nghh-ah.”

Soeun melepaskan ciuman dan memasukan satu buah anggur ke dalam mulut Soojin, membuat omega itu kebingungan dan malu setengah mati.

“Gue cuman bercanda, gue yakin lo mau beresin masalah yang ada kok,” ujar Soeun dengan senyumannya, hal itu membuat pipi Soojin memerah perlahan.

“Sini ikut,” titah sang Alpha yang kini berjalan menuju kamarnya. Soojin keheranan, menatap punggung alpha itu yang perlahan semakin menjauh.

“Ikut gak? Aku belum kasih aftercare loh, aku mandiin pake air anget, ya? Makan malemnya ntar pesen online aja.”

Dan disaat itu, Soojin jatuh cinta kesekian kalinya pada alpha bermata monolid tersebut.

“Sudah lama semenjak saya liat Soeun, dia seperti apa sekarang?”

Itulah pertanyaan yang dilontarkan oleh pak Song, sopir pribadi Soojin, yang berhasil memecah suasana canggung dan keheningan mereka. Keduanya saat ini sedang berada di dalam perjalanan, menuju apartemen Soeun.

Karena ini adalah hal yang masih sangat riskan, Soojin tentu saja memakai topi juga masker untuk menutupi wajahnya. Mobil yang mereka pakai juga milik keluarga pak Song, bukan mobil keluarga Soojin pada umumnya.

Merasa telah mendiamkan pak Song dan juga tak kunjung menjawab pertanyaan beta tersebut, Soojin tersenyum kecil sebelum akhirnya memindahkan pandangannya pada lelaki paruh baya yang kini tengah fokus menyetir.

“Dia.. seperti Soeun yang kita kenal dulu, tidak ada yang berubah. Mata sipitnya masih sama, feromonnya juga. Cuman pipinya udah gak tembem lagi,” jawab Soojin. Pandangannya beralih ke jari-jemari yang ia mainkan.

She's just a perfect alpha.”

Pak Song tersenyum mendengarnya. Semenjak kedua insan itu berpisah, menjalani hidup tanpa bertukar kabar membuat Soojin lebih cepat murung. Pak Song tentu saja melihatnya. Soojin jadi cepat marah, membentak, dan sebagainya. Tentu, bukan ditunjukan pada pak Song, tapi pada ayahnya.

Namun, setelah bertemu dengan Soeun di restoran milik ayah Jaehee saat itu, pak Song bisa melihat Soojin tersenyum di malam hari. Bersenandung ria sambil meminum segelas wiski di meja bar rumahnya.

Pak Song selalu yakin bahwa memisahkan mereka berdua adalah hal yang buruk.

“Kita sudah sampai,” kata beta itu dengan senyuman.

Soojin pun berterima kasih dan mengatakan bahwa ia akan memberitahu pak Song kapan akan pulang nantinya. Hal tersebut diiyakan dan pak Song menjalankan mobilnya kembali, meninggalkan Soojin yang berdiri di depan gedung apartemen.

Soojin dengan cepat menuju ke lantai tempat di mana Soeun berada. Ia berkali-kali menundukan kepala ketika ada penghuni lain lewat di hadapannya atau mungkin pekerja di sana.

Ia tidak mau mengulangi kesalahan yang sama dan membahayakan posisi Soeun lagi untuk kesekian kalinya.

Sesampainya di depan pintu apartemen Soeun, Soojin langsung memasukan sandi yang dari dulu tidak pernah berubah; tanggal lahir sang Omega. Klise dan simpel, tapi mampu membuat pipi Soojin memerah setiap kali menekan angkanya.

“Oke, Soeun! Lo di mana?! Ayo kita ngobrol, soal masalah kemaren!” kata Soojin sesaat setelah membuka pintu apartemen.

Ia menutup pintunya kembali dan Soojin menyadari bahwa Soeun tidak ada di ruang tengah, dapur pun tidak ada. Maka satu tempat yang pasti adalah kamarnya. Ketika ia menoleh, menatap pintu kamar Soeun, di situ ada gantungan bertuliskan Do Not Disturb.

“Soeun, ayolah! Kita selesaiin masalahnya, gue.. gue minta maaf,” lirih Soojin, ia berdiri di depan pintu kamar Soeun sekarang, menaruh dahinya pada kayu berbentuk persegi panjang tersebut.

“Gue mau minta maaf. Atas perlakuan ayah gue, media berita, dan juga ucapan gue sebelum kita pergi dari resto itu.”

Soojin akui, ia salah. Salah telah mengucapkan kalimat tersebut. Tidak seharusnya ia mengucapkannya ketika hatinya berkata lain, ketika hatinya masih menginginkan alpha berferomon angin lau tersebut.

“Pergi, Soojin. Gue gak masalahin itu lagi kok, gue udah maafin. Tapi tolong pergi, ya?” ujar Soeun dari dalam. Suaranya seperti lemas dan terdengar deru napas, seakan Soeun habis melakukan lari maraton.

“Soeun, gue juga minta tolong. Gue mau kita ngobrol,”

“Obrolin apa lagi, Soojin? Lo gak capek emangnya, hah? Gue capek loh.”

Soojin diam sebentar sebelum menjawab pertanyaan Soeun karena ia sedikit mendengar beberapa barang bergeser dan berjatuhan dari dalam sana.

“Obrolin soal kita. Masa lalu, masa sekarang, masa depan. Aku mau kita ngobrol, Soeun. “Just.. Let me fix this whole mess, because I want you to be my mate.

Tidak ada jawaban dari Soeun selama beberapa detik. Soojin juga merasa bahwa alpha itu akhirnya menyerah untuk memperbaiki keadaan mereka berdua. Soojin tersenyum ketika tahu semuanya terlambat, ia hendak melangkahkan kakinya pergi tetapi sebuah wangi menyengat masuk ke indera penciumannya. Soojin mendekat ke arah pintu, menghirup wangi itu sekali lagi; angin laut.

“Soeun, lo—”

Belum sempat Soojin menyelesaikan ucapannya, pintu kamar terbuka dan feromon angin laut langsung membuat omega itu terdiam, mematung dan tak bisa memproses apa pun selain betapa adiktifnya feromon alpha bermarga Park itu.

“Kan gue udah bilang buat pergi, ini alasan gue gak nerima tamu dulu, Soojin.”

Bahkan dalam keadaan rut pun, Soeun masih bisa berbicara rasional. Alpha yang Soojin temui kebanyakan ketika sudah dalam masa rut, yang mereka pikirkan adalah melakukan hubungan seksual dan menyetubuhi apa pun itu yang mereka bisa.

Let me.. fix th-this whole things and mess, and.. and—

Ucapan Soojin berhenti ketika Soeun semakin dekat padanya. Kedua insan itu bisa mencium wangi feromon masing-masing; Soojin mencium angin laut dan Soeun mencium lavender kamomil.

“Boleh gue minta tolong?” ujar Soeun tiba-tiba. Soojin mendongak, menatap iris mata Soeun yang kini berwarna kuning keemasan.

“Apa?”

“Tolong berhenti jadi munafik, Soojin. Aku gak suka,” katanya. Suara Soeun menurun beberapa oktaf, membuatnya terdengar begitu menggoda. Soojin mulai berpikir irasional. “Kalau kamu berhenti jadi munafik, I'll let you fix your mess.

Tangan kiri Soojin mendekat, jari-jemarinya ia tautkan perlahan pada jari-jemari Soeun, membuat alpha itu tersenyum manis melihatnya. Wajah mereka berdua mendekat, berhenti beberapa senti dan keduanya bisa merasakan hembusan napas masing-masing.

Would you let me help your rut, Alpha?

Park Soeun sebenarnya tidak masalah jika manajernya membutuhkan dirinya sekarang, menggantikan posisi kedua teman kerja yang entah kenapa tiba-tiba sakit. Ia sungguh tidak masalah, justru ia sedikit senang karena bisa bekerja, mengalihkan perhatiannya dari Soojin yang faktanya sedang berkencan dengan alpha lain.

Ya, seharusnya Soeun senang, bukankah begitu?

Tetapi ketika alpha bermata monolid itu sudah siap di posisinya sebagai pelayan restoran cepat saji tersebut, pemandangan yang selama ini ia harap tidak pernah ia lihat akhirnya muncul.

Soojin dengan ayah dan seorang alpha sedang duduk di salah satu meja, hampir berada di tengah restoran dan Soeun bisa melihat dengan jelas.

Omega bermarga Lee itu tampak bahagia, senang Soeun pikir. Entah apa yang mereka bertiga bicarakan, Soeun tidak bisa mendengarnya, seakan indera pendengarannya dicabut dan waktu berjalan lambat.

Tidak, Soeun seharusnya bersikap biasa saja. Ia tidak seharusnya sakit hati karena faktanya, ia hanyalah heat partner bagi Soojin, itu saja. Tidak pernah lebih.

Soeun tidak menyalahkan manajernya, tidak juga menyalahkan ketiga insan itu. Ia lebih memilih menyalahkan dirinya.

Kenapa ia setuju untuk menjadi heat partner Soojin? Kenapa ia setuju saat Soojin ingin menjauhi dirinya dulu?

Soeun menyalahkan dirinya karena tidak bisa bertindak tegas atas apa yang ia mau sebenarnya. Atau mungkin, ia hanya tersesat, tidak tahu harus bagaimana.

“Soeun, ada pengunjung di meja 27, ayo cepat.” Manajernya berbisik, seakan tahu bahwa dirinya sedang melamun saat itu.

Soeun tentu saja dengan sigap menuju meja yang disebut manajernya, meja yang dekat dengan tempat di mana Soojin berada.

Soojin menghentikan aktivitas makannya ketika indera penciumannya mencium feromon yang sangat ia kenali; angin laut. Dengan sedikit panik, Soojin sedikit menolehkan kepalanya, menatap Soeun yang kini sedang mencatat pesanan pengunjung lain dari punggungnya.

Saat itu juga, Soojin ingin membuat mereka pergi dari tempat tersebut.

Namun, belum sempat Soojin mengutarakan keinginannya, sang Ayah sudah lebih dulu menyadari keberadaan alpha bermarga Park tersebut.

Tuan Lee menepuk pelan tangan Soeun ketika alpha tersebut ingin pergi menyerahkan pesanan pada juru masak. Tentu saja hal tersebut membuat Soeun mengurungkan niatnya lalu menatap Tuan Lee, takut.

“Oh, ya ampun. Saya kira kamu lagi gak kerja,” ujarnya, basa-basi.

“Ah, halo om Lee. Memang bukan shift saya, om. Cuman tadi disuruh gantiin temen lagi sakit,” jawab Soeun ramah, sangat ramah. Ia berusaha menepis kenyataan bahwa alpha di hadapannya ini pernah melakukan hal buruk padanya.

Heesung dan Soojin hanya bisa diam, mereka tidak bisa melakukan apa pun jika situasinya seperti ini. Soojin sendiri ingin rasanya menarik sang Ayah keluar, membiarkan Soeun melakukan pekerjaannya.

“Ahahaha, sudahlah Soeun. Jangan bohong.”

“M-maksudnya apa, ya?”

“Saya tahu kamu minta manajermu untuk dapet kerja hari ini karena liat berita bahwa direktur perusahaan Lee Enterprise dan anaknya sedang kencan di restoran tempatmu bekerja, iya bukan?”

Detik ini, Soeun meminta tolong pada siapa pun untuk menelpon temannya agar datang. Ia tidak mau menyerang Tuan Lee hanya karena alpha berferomon mahogani itu memancing amarahnya.

Soeun tersenyum, berusaha menyembunyikan kemarahannya, “Tidak, om. Saya beneran diminta manajer untuk kerja gantiin temen saya.”

Tuan Lee beranjak dari kursinya, ikut tersenyum juga. Soeun hanya bisa menarik napas dalam-dalam lalu kemudian berbisik padanya.

“Jangan bohong, Soeun.”

“S-saya gak bohong, saya berkata jujur. Om bisa tanya manajer saya,” jawabnya dengan suara bergetar.

Atmosfer ini lagi. Soeun tidak suka, ia takut, ia trauma.

“Jangan. Bohong.” Tuan Lee mengatakannya dengan tekanan di setiap kata, membuat Soeun gemetar.

“Saya bersumpah, saya tidak bohong. Bahkan saya tidak tahu kalian bertiga akan ke sini.”

“Jangan bohong, Soeun!! Saya tahu maksud kamu apa!”

“SAYA GAK BOHONG!!”

Mendengar suara Soeun yang meninggi, juga feromon angin lautnya yang perlahan berubah menjadi kayu bakar, Soojin beranjak dari kursi, hendak memisahkan mereka berdua.

Namun, belum sempat Soojin memisahkannya, sang Ayah terlihat mengambil minuman soda yang ia punya, membuka tutup minuman tersebut lalu menuangkannya di atas kepala Soeun.

“Jangan berharap alpha kayak kamu bisa dapetin Soojin, kamu bahkan gak setara sama dia. Jadi, jauhin Soojin, sudah saya bilang dari dulu.”

Soeun menundukan kepalanya saat mendengar perkataan seperti itu. Feromonnya kembali berganti, memutuskan untuk menenangkan diri karena ia tahu, Soojin bisa saja pingsan menghirup dua feromon yang begitu kuat sedari tadi.

“Ayo, pergi,” kata Tuan Lee dengan angkuhnya. Ia juga menatap ke arah Soojin yang terlihat sedang kebingungan, takut, dan lainnya. Semua emosinya bercampur saat itu.

Soojin tidak tahu harus apa, haruskah ia bersandiwara atau melakukan yang seharusnya ia lakukan; membantu Soeun.

Pikirannya terlalu kacau saat itu, jadi Soojin lebih memilih, “Tolong, jangan ganggu aku lagi, Soeun. Enyahlah.”

Tuan Lee tersenyum, sedetik kemudian mereka berjalan keluar dengan Heesung yang diam-diam menatap iba Soeun.

“Soeun?” panggil manajernya karena Soeun tetap bergeming satu menit kemudian, baju kerja dan kepalanya basah karena air soda yang ditumpahkan Tuan Lee.

“Maaf, pak. Saya melakukan kesalahan hari ini, Anda bisa memecat saya. Permisi,” kata Soeun lirih.

Alpha bermata monolid itu berjalan keluar lewat pintu belakang, meninggalkan manajernya yang kebingungan setengah mati melihat kejadian barusan.

Di satu sisi, Soojin baru sadar, tindakan yang ia pilih adalah kesalahan besar lain di hidupnya.

Sunyi adalah kata yang tepat untuk menggambarkan atmosfer di mobil Heesung saat ini. Bagaimana tidak, ayah Soojin hanya duduk diam dengan senyuman terukir di wajahnya sambil memerhatikan kedua insan di depannya yang kini sedang berpegangan tangan.

Soojin sendiri tentu saja tidak nyaman, begitu pun dengan Heesung. Akan tetapi, mengingat perkataan Jaehee sebelumnya bahwa untuk melakukan semuanya dengan berpura-pura, mereka tetap melakukannya. Terpaksa.

Entah mau dibawa ke mana, Soojin tidak tahu tujuan sebenarnya. Sang Alpha dengan feromon mahogani itu hanya membisikan tempat tujuan mereka pada Heesung dan tidak memberi tahunya sama sekali.

Curang. Soojin benci itu. Sang Ayah selalu menutupi sesuatu dari dirinya dan ia tidak suka.

Sampai ketika mobil berhenti dan terparkir di suatu tempat, Soojin sadar. Ayahnya membawa dirinya ke tempat di mana Soeun bekerja; restoran cepat saji yang biasanya sang Ayah selalu hindari dan memilih makan di restoran mewah.

Di dalam hati, Soojin berdoa agar Soeun sedang tidak bekerja hari ini, bukan jadwalnya agar tidak bertemu dengan sang Ayah dan membuka luka lama. Pintu restoran terbuka dan yang Soojin lakukan adalah mengecek seluruh sudut ruangan, memastikan Soeun tidak ada di sana.

“Hmm, sepertinya lagi gak rame. Bagus gak sih?” tanya Heesung, masuk kembali dalam peran sandiwaranya sebagai seorang Alpha yang mencintai Soojin.

“Betul juga, mari masuk dan kita pilih tempat duduk,” jawab Tuan Lee.

Soojin ingin semua ini berhenti detik itu juga tapi tentu saja, sebuah hal yang mustahil dan ada di luar kontrol sang Omega.

Mereka akhirnya duduk dan mulai memesan beberapa hidangan di sana. Soojin berkali-kali terlihat tidak tenang. Sesekali ia menoleh, menatap beberapa pengunjung dan pekerja di sana atau menggigit kuku jarinya.

Heesung menyadarinya tentu saja dan ia menyimpulkan bahwa Soojin merasa tidak nyaman.

“Soojin, mau ganti tempat aja?” tanya sang Alpha berferomon kopi itu.

Yang ditanya kembali menoleh, menatap Heesung dengan tatapan takutnya. Soojin hendak menjawab pertanyaan sang Alpha sampai ayahnya yang justru menjawab pertanyaan Heesung.

“Tidak usah, Heesung. Soojin yakin ia akan suka di tempat ini. Benar, bukan?”

Sang Ayah menatap tajam Soojin ketika melontarkan pertanyaan itu, Soojin juga merasakan feromon mahogani ayahnya yang kini lebih dominan, membuatnya hampir merengek.

“Oh, kenapa Anda yakin kalau Soojin bisa suka?” Heesung kembali bertanya agar Soojin merasa nyaman, ia juga kini memegang tangan kanan Soojin dengan tangan kirinya agar sang Omega berhenti ketakutan.

“Mudah, karena ini tempat kerja seseorang yang begitu spesial bagi Soojin, tapi orang itu malah membuat Soojin trauma. Ia melakukan hal yang buruk pada putriku.”

Jawaban kebohongan lainnya. Soojin muak, ia ingin segera keluar dari sini.

“Apa.. yang dilakukannya?”

“Hubungan mereka sangatlah toxic, alpha itu berkali-kali melakukan tindakan kasar pada Soojin. Sehingga saya harus turun tangan,” jawab Tuan Lee dengan senyuman.

Heesung bukanlah alpha yang mudah dibohongi. Ia tahu kapan Tuan Lee berbohong dan tidak. Lagipula Heesung juga tahu bahwa orang yang spesial ini pasti alpha perempuan yang Soojin maksud dua hari lalu.

Dan Heesung yakin orang itu bukanlah tipe yang kasar. Namun, hey, Heesung harus bersandiwara bukan?

Maka dari itu ia menarik kedua tangan Soojin dalam genggaman lalu menciumnya lembut. Kini netranya menatap Soojin, seakan mengatakan semua akan baik-baik saja.

“Syukur kalau Soojin bisa lepas dari orang seperti itu. Saya janji, saya akan menjaga anak Anda.”

Untuk kesekian kalinya, Soojin meminta untuk bunuh dirinya saja agar semua ini selesai.

Soojin terpaksa hanya membaca pesan Soeun, tidak sempat mengirim pesan balasan karena sang Ayah yang menatapnya tajam sedari tadi. Ia menaruh ponselnya di meja dekat kursi dan kemudian mendengarkan cerita lawan bicara sang Ayah.

Dari sekian banyaknya marga dan alpha di negara ini, kenapa ayahnya memilih alpha yang memiliki nama marga mirip dengan dirinya; Lee.

Tidak. Soojin tidak suka atmosfer di ruangan itu. Ia dan alpha lelaki berpakaian rapih—Heesung—hanya bisa diam menatap lantai.

“Saya senang sekali bisa bertemu dengan Anda, perjodohan ini adalah hal yang paling tepat, bukan?” ucap sang Ayah.

Soojin memutar malas bola mata, mendengus kesal ketika mendengar ucapan ayahnya begitu lembut terhadap ayah Heesung, berbeda ketika mereka sedang berbicara satu sama lain.

“Saya juga senang, uh.. ini memang hal yang tepat sekali. Ah, ngomong-ngomong, bagaimana kencan kalian beberapa hari yang lalu?”

Sial, sial. Ayah Heesung bertanya soal kencanku waktu itu. Bagaimana menjawabnya?!

Pikiran Soojin tidak bisa fokus sekarang. Dengan kenyataan bahwa ia sedang ada di antara tiga alpha dan salah satu alpha mengintimidasi dirinya dengan feromon, membuat Soojin tidak berpikir jernih. Ia ingin menjawab, tapi takut perkataannya salah dan membuat dirinya dimarahi habis-habisan oleh sang Ayah.

Melihat Soojin yang diam dan manik matanya terlihat panik, Heesung sendiri yang menjawab pertanyaan ayahnya.

“Kencan kami berjalan baik kok.”

Lihat senyuman itu, senyuman palsu menurut Soojin. Bagaimana tidak, kencan mereka harus berakhir begitu cepat karena Soojin ingin pulang lebih dulu berkedok ada janji bersama Jaehee. Pembohong ulung.

“Syukurlah, Soojin juga bilang kalau ia menikmati kencannya denganmu. Ia juga bilang kau adalah alpha yang menarik perhatiannya,” timpal sang Ayah.

Kebohongan apa lagi ini? Begitulah batin Soojin, menatap ayahnya dengan tatapan heran dan kesal karena pada dasarnya ia tidak pernah mengatakan hal tersebut sama sekali. TIDAK PERNAH.

“Ayah, Soojin gak—”

“Soojin, diam dulu. Ayah masih bicara.”

Sekali lagi dalam hidupnya, perkataan Soojin dipotong, menandakan alpha tersebut tidak pernah mau mendengarkan keinginannya atau apapun itu yang akan Soojin ucapkan.

“Bagaimana kalau pernikahannya dimajukan saja? Lebih cepat lebih baik, bukan? Soojin juga ingin semuanya dipercepat,” kata ayahnya, lagi.

Mendengar hal tersebut, Heesung dan ayahnya hanya diam beberapa saat sampai akhirnya Soojin bangkit dari kursi, menghadap pada ayahnya sendiri dengan tatapan penuh amarah.

Cukup sudah. Alpha itu bahkan tidak pernah meminta persetujuan darinya soal menikah atau apapun itu yang berhubungan dengan hal ini.

“Bisa gak? Dengerin Soojin dulu,” katanya. Nada suara sang Omega juga terdengar lebih rendah dari biasanya. Feromon lavender miliknya juga membuat tiga alpha itu sedikit terkejut, tidak terbiasa dengan feromon dominan yang diberikan oleh seorang omega.

“Soojin, ayah sedang bic—”

“Bicara tanpa persetujuan aku? Gitu? Aku gak pernah bilang kalau Heesung menarik perhatianku, aku juga gak pernah bilang kalau aku mau nikah. Enggak! Itu cuman omong kosong ayah doang, ayah itu bohong!”

“Lee Soojin..” panggil sang Ayah dengan suara yang rendah. Kedua anak dan ayah itu saling menatap satu sama lain, menunjukan sisi dominan mereka. Membuat feromon lavender dan mahogani milik ayahnya bercampur di ruangan tersebut.

Memang faktanya Soojin adalah seorang omega, tetapi yang membuatnya spesial adalah ia punya pendirian sendiri. Tidak seperti omega kebanyakan; hanya turut, patuh pada seorang alpha katakan. Soojin tidak seperti itu.

“Aku juga bilang, kan? Aku gak mau dijodohin, AKU MAU MILIH ALPHA-KU SENDIRI!”

Mendengar nada suara anaknya meninggi, sang Ayah beranjak dari kursi lalu menampar Soojin, membuat omega itu diam mematung di tempat.

Melihat kejadian itu, Heesung hendak membantu Soojin—tentu saja karena insting alpha miliknya—tetapi ayahnya mengatakan untuk diam dan tidak ikut campur.

Tanpa sepatah kata pun selain menatap tajam ayahnya, Soojin berjalan pergi dari ruang tamu. Entah ke mana kaki membawanya, yang penting tidak ada mereka bertiga di sana.

Menarik napas dan menghirup udara segar di area belakang rumahnya, Soojin sudah menghabiskan beberapa menit di sana, menatap pemandangan anak-anak yang bermain di taman.

Ini mimpi buruk baginya. Seharusnya Soojin tahu bahwa ketika ibu dan kakaknya pergi, ia tidak seharusnya bertahan dengan sang Ayah. Karena yang omega itu tahu sekarang adalah sang Ayah ialah masalahnya.

“Brengsek,” monolog Soojin. Sampai sebuah suara terdengar, dari arah belakang mendekat ke sampingnya.

“Setuju banget sama itu.”

Tanpa menoleh pun Soojin tahu siapa pemilik suara itu. Heesung kini berdiri di samping sang Omega, ikut menatap anak-anak yang bermain di taman.

“Disuruh ayah, kan?” tanya Soojin langsung pada intinya. Heesung mengangguk sebagai jawabannya.

“Lo.. setuju sama perjodohan ini, kan?” tanyanya sekali lagi. Penasaran dengan sudut pandang alpha berferomon kopi tersebut.

“Enggak? Lo mikir gue setuju? Aduh lucu banget, tapi gue udah sayang sama omega lain. Ayah gue tau, tapi dia bisa apa? Ini ayah lo masalahnya yang mau.”

Hati Soojin dipenuhi awan hitam kembali. Mengetahui bahwa Heesung menaruh hati pada omega lain dan ayahnya juga hanya bisa diam menuruti kemauan sang Ayah membuat Soojin semakin benci pada alpha dengan feromon mahogani tersebut.

“Dari gerak-gerik lo, keknya lo juga udah punya alpha,” kata Heesung dengan senyuman.

Soojin? Ia hanya bisa diam tersenyum simpul. Matanya masih menatap anak-anak di bawah sana.

“Selesaiin apapun masalah lo sama ayah lo, Soojin. Dapetin alpha yang lo mau itu rasanya gak bisa diungkapin dengan kata-kata, ya.. temenku bilang gitu. Jadi, coba ngobrol sama ayah lo, tapi inget, jangan ada emosi di antara kalian berdua.”

“Udah pernah, tetep aja jawabannya jodohin aku sama alpha lain,” timpal Soojin.

Heesung mengerutkan keningnya, penasaran akan sesuatu. Maka dari itu, ia bertanya selagi ada kesempatan.

“Ayah lo gak suka sama hubungan kaliankah? Kenapa kalau boleh tau?”

Soojin hanya tersenyum lagi untuk kesekian kalinya. Membuka luka lama.

“Karena dia alpha cewek,” jawabnya. Mendengar itu Heesung hanya diam, “Selagi bukan alpha cewek, ayah gak pernah permasalahin.”

“Apa?” tanya Soojin dengan raut wajah dan tatapan yang datar ketika masuk ke ruangan ayahnya di gedung perusahaan milik keluarganya tersebut.

“Sumin bilang kamu heat, bener?”

Mendapat pertanyaan seperti itu, Soojin menghela napasnya dan diam untuk beberapa detik sampai akhirnya menjawab iya.

“Iya, tapi diambilin supresan kok sama Sumin.”

Sang Ayah mengangguk, mengerti akan penjelasan anak bungsunya tersebut sambil memeriksa kembali dokumen yang ada di mejanya.

“Udah? Gitu doang?” Soojin mulai kesal.

“Tolong bilang ke bibi besok rumah harus rapih, ada tamu penting mau datang. Dan Soojin, jangan lupa berpenampilan rapih.”

“Tunggu, aku ikut?”

“Iya, ikut. Ada masalah?”

“Besok aku ada janji sama Jaehee,” jawabnya. Soojin melihat ayahnya berhenti untuk sesaat dan kemudian menatapnya tajam di balik kacamata minus tersebut.

“Lebih penting main sama Jaehee atau masalah perjodohanmu, ayah tanya?”

Diam. Soojin hanya bisa diam ketika mendengar ucapan sang Ayah. Tidak, tidak. Ia sudah bilang sebelumnya kalau kencannya bersama Heesung tidak berhasil. Soojin bahkan tidak tertarik dengan alpha berferomon kopi itu.

“Ayah, Soojin udah bilang kan kal—”

“Kalau kamu gak tertarik? Ayolah, itu baru kencan pertama Soojin. Kamu cuman perlu kencan beberapa kali lagi untuk bisa menerimanya, lagipula ini yang terbaik buat kamu.”

Tangannya mengepal dalam diam. Selalu saja seperti ini ketika Soojin ingin menolak sesuatu; percakapannya dipotong dan selalu memakai alasan ini adalah yang baik untuknya.

Hal yang baik untukku atau hanya untuk reputasi perusahaan ayah saja?

“Kakak datang?” tanya Soojin. Nada suaranya tidak sekeras sebelumnya, kali ini lebih lembut. Ia tidak ingin memulai perang untuk kesekian kalinya bersama sang Ayah.

“Tidak. Untuk apa mengundangnya? Jangan bertanya soal kakakmu lagi padaku, ia tidak mau menjadi penerus direktur, kamu jangan sampe kayak dia,” jawab sang Ayah, membuat senyuman miris terukir di wajah Soojin.

“Sekali aja,” lirihnya dan itu cukup mengambil kembali perhatian ayahnya, “Sekali aja ayah nurutin kemauan Soojin, Soojin bakal ngambil posisi direktur kalau ayah pensiun.”

“Tapi apa? Ayah bahkan gak pernah mau denger saran dari aku buat perusahaan padahal ayah bilang aku bakal jadi direktur di perusahaan itu.”

Sang Ayah bergeming, mencerna perkataan Soojin sedikit demi sedikit.

“Pantes ibu ninggalin ayah, orang ayah kayak gini. Harusnya aku ikut ibu dulu.”

Mendengar ucapan sang Anak, Tuan Lee menggebrak meja, berdiri dan berteriak pada omega di hadapannya, “LEE SOOJIN!!”

“APA?! INI BUAT KEBAIKAN AKU? STOP PAKE ALASAN ITU! SOOJIN TAHU MANA YANG BAIK DAN BURUK BUAT DIRI SENDIRI!!”

Merasa amarahnya sudah tidak terbendung, Soojin hendak keluar dari ruangan tersebut sampai sebuah perkataan membuatnya berhenti di jalan.

“Kalau sampe ini semua karena Soeun, ayah—”

“Stop! STOP!!” Soojin menoleh kembali, menatap penuh dendam kepada alpha yang kini juga menatapnya dengan tatapan sama.

“Gak usah bawa-bawa Soeun ke masalah keluarga, bisa gak?” tanya Soojin. Suaranya gemetar karena ia berusaha menahan tangisnya.

“Keluar,” titah sang Ayah dan langsung dituruti oleh Soojin.

Ia keluar dari ruangan tersebut, menutup pintu dengan keras sampai ayahnya sedikit terkejut.

Soojin mengerjapkan matanya, berusaha memproses apa yang terjadi setelah ia masuk ke dalam apartemen Soeun dibantu oleh anak dari teman ayahnya, Bae Sumin.

Tunggu, apartemen Soeun?

Benar juga. Soojin tidak bisa mengingat apa yang terjadi karena feromon Soeun yang menyebar luas di apartemen itu membuatnya kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Omega mana yang tidak lepas kendali ketika mencium feromon seorang Alpha.

Dan seperti yang Soojin tebak, feromon Soeun masih sama seperti dulu; memabukan dan berbahaya bagi dirinya. Tanpa ia sadari, matanya kembali terpejam, menghirup feromon angin laut yang menempel di bantal dan sprei tempat ia berada hingga sebuah suara menganggunya.

“Sudah bangun?”

Soojin membuka matanya kembali lalu segera bangkit dari kasur, mata cokelatnya menatap Soeun yang sedang berdiri memegang sebuah nampan berisi secangkir kopi dan kue kering.

“Ah, latte? Katanya lo mau, gue tambahin kue juga sih biar ada yang bisa dimakan.”

Park Soeun bukan alpha pada umumnya. Ia adalah alpha yang paling manis yang pernah Soojin temui. Jika semua alpha yang Soojin temui selalu bersikap angkuh, tidak mau mengalah dan memiliki kontrol penuh atas omega mereka, Soeun bukan alpha yang seperti itu.

Dan Soojin menyukainya.

“Makasih, taro aja di meja. Abis ini gue langsung pulang.”

Soeun tersenyum mendengarnya dan menuruti perintah Soojin, ia menaruh nampan tersebut di meja samping tempat tidurnya dan setelah itu berjalan pergi, hendak keluar dari kamar agar Soojin punya waktu sendiri sebelum akhirnya pergi.

Melihat punggung Soeun yang perlahan menjauh dan hampir menghilang dari pandangannya membuat Soojin sadar. Keputusan dirinya waktu itu, saat kejadian membuat Soeun terluka dan benar-benar ingin menghilang dari hidupnya, menghargai keputusan sang Omega.

Lagipula Soojin tidak tahu. Ia bingung harus memilih ayah atau temannya. Jika saja waktu bisa diulang, ia akan memilih Soeun. Karena Soojin tahu, Soeun adalah alpha yang tepat untuknya.

“Soojin,” panggil Soeun saat ia hendak menutup pintu.

Yang dipanggil pun menoleh, menatap Soeun, “Iya?”

“Lo nangis, ada tisu di meja belajar. Gue ke minimarket dulu, lo boleh langsung balik.”

Pintu pun tertutup setelahnya. Soojin? Ia menaruh jarinya di sudut mata dan apa yang dikatakan Soeun benar, air matanya menetes.

Di sisi lain, Soeun berjalan lemas di lorong dan saat di dalam lift, ia bersandar. Terdiam cukup lama sampai merasakan air matanya juga ikut menetes, turun ke pipinya.

Soeun dulu sempat berpikir apa yang salah dari mereka berdua sampai akhirnya ia sadar akan sesuatu.

Park Soeun sadar bahwa yang salah adalah dirinya.

Jika kalian berpikir bahwa hubungan romantis antara tiga orang sekaligus adalah hal yang mustahil, maka kalian salah. Semua orang berpikir bahwa hubungan romantis tiga orang tidak akan bertahan lama.

Ya, semua itu tidak berlaku bagi Lee Soojin dan dua kekasihnya yang setia.

Hubungan romantis antara Soojin, Soeun, dan Monday dimulai ketika sang Ratu sendiri tidak bisa memilih antara kedua teman dekatnya tersebut.

Mimpi mereka berbeda satu dengan yang lainnya. Ada yang ingin menjadi aktris, menjadi seorang koreografer dan dancer terkenal, dan ada juga yang ingin menjadi penyanyi solois.

Semua berjalan baik-baik saja sampai Soojin menyadari sikap kedua temannya tersebut berubah ketika ketiga insan itu ada di puncak karier masing-masing. Mereka menjadi lebih perhatian pada Soojin, selalu berusaha ada di sisinya.

Soojin sadar perlahan semuanya akan berantakan jika ia tidak mengatasi hal ini. Melihat bagaimana berkompetisinya mereka berdua untuk mendapatkan Soojin.

Sampai hari di mana, aktris papan atas tersebut tidak bisa memutuskan siapa yang akan jadi kekasihnya ketika Soeun dan Monday menyatakan perasaan mereka saat itu, mengajak Soojin untuk menjalin hubungan.

Soojin sendiri memang memiliki rasa terhadap salah satu dari mereka, tetapi terkadang perasaannya sering berubah seiring dengan siapa ia bersama. Maka dari itu Soojin memutuskan untuk menerima mereka dan berjanji untuk berhenti berkompetisi mendapatkan dirinya.

Karena apa? Karena mereka sudah mendapatkan Lee Soojin seutuhnya, dari dulu.

Di sinilah ketiganya sekarang, Daegu. Mengambil liburan bersama adalah ide yang paling bagus yang pernah Soeun usulkan.

“Kasurnya kenapa dua?” tanya Monday ketika sampai di kamar hotel mereka.

“Jangan tanya gue, direkomendasiinya begitu. Gue mah nurut sama mba resepsionis,” jawab koreografer bermarga Park tersebut.

Ketika keduanya ribut siapa yang bakal tidur di kasur sendirian, Soojin hanya tersenyum menatap mereka berdua. Hal ini memang sering terjadi tetapi Soojin menyukainya, Soojin suka saat Monday dan Soeun bertingkah laku layaknya teman dekat seperti dulu.

“Aku tidur sendiri aja! Kalian yang tidur berdua di kasur yang satunya,” ujar Soojin sambil menaruh badannya di kasur empuk berwarna dominan putih itu.

Soeun dan Monday hanya bisa menatap satu sama lain lalu kemudian menggerutu sambil membereskan barang bawaan mereka.

Sekali lagi Soojin tersenyum.

Sebelum pergi ke tempat wisata lain, mereka sempat bersantai di balkon hotel yang terdapat kolam renang di sana. Hanya duduk sambil menikmati kesejukan angin yang berhembus ke arah mereka.

Soojin berdiri, menatap pemandangan kota di hadapannya yang terlihat kecil karena ia ada di lantai teratas hotel. Sebuah tangan melingkar di pinggang kecilnya, menarik gadis itu ke dalam pelukan hangat.

Saat menoleh, Soojin mendapati Soeun sedang tersenyum, menaruh kepalanya di leher yang lebih tua.

“Hei,” panggil Soojin. Tangannya mengelus tangan Soeun yang melingkar di pinggang, membuat koreografer itu semakin erat mendekapnya.

“You're so pretty, princess,” bisik Soeun membuat pipi Soojin memerah saat mendengarnya. Soeun mengecup bahu sang Aktris sebelum akhirnya melepaskan pelukan dan berbisik sekali lagi, “Aku sayang kamu.”

Keesokannya, mereka datang ke sebuah green house yang berisi tanaman dari Afrika. Soojin memotret beberapa tanaman tersebut, bahkan sesekali memotret Monday dan Soeun yang sedang fokus melihat-lihat tanaman.

Soojin kemudian mengarahkan kameranya pada salah satu tanaman yang begitu indah, seperti pohon rasanya. Ia berjalan mundur, berusaha mendapatkan komposisi dan perspektif yang sempurna. Ia tidak sadar apa yang ada di belakangnya sampai Soojin tersandung sesuatu dan hampir mengenai tumbuhan kaktus kecil di belakangnya jika Monday tidak menahan aktris tersebut agar tidak terjatuh.

“Lain kali hati-hati,” kata Monday sambil merapihkan beberapa helai rambut di wajah gadis tersebut.

Soojin tersipu malu dan kemudian berjalan lebih dulu dibanding kedua kekasihnya.

Setelah itu ketiganya menuju ke tempat wisata lain, sebuah tempat makan di pinggir jalan. Tidak begitu mewah tapi cukup nyaman untuk menghabiskan waktu bersama, atmosfernya juga mampu membuat mereka bersenda gurau satu sama lain.

Kemudian mereka naik kereta gantung, menghabiskan senja mereka di tempat tinggi itu sambil melihat pemandangan bukit yang indah.

“Aku sayang kalian!” ujar Soojin senang sambil memegang tangan mereka berdua erat.

Yang tangannya dipegang hanya bisa tersipu malu, mengalihkan pandangan mereka ke luar jendela.

Liburan mereka di hari pertama dihabiskan dengan makan malam di balkon hotel kamar.

Hari kedua mereka memutuskan untuk mengunjungi kafé di sekitar sana. Dari kafé yang berisi kue dan roti, hingga kafé di mana tempat tersebut terkenal dengan kamera analognya.

Ketiga insan itu pun mencoba dan melihat beberapa kamera analog bahkan roll film yang terpajang di sana. Tak lupa juga untuk berfoto bersama di studio yang memang disediakan di sana.

Setelah menghabiskan waktu mengunjungi beberapa kafé, saatnya mereka pergi ke taman bermain. Ketiganya menaiki wahana apa saja yang bisa membuat spot jantung mereka berdegup kencang atau bahkan berteriak sampai suara menghilang.

Hingga sebelum pulang, mereka duduk santai di kincir raksasa atau terkadang beberapa orang menyebutnya bianglala. Dengan putaran wahana tersebut yang begitu pelan, ketiganya bisa menenangkan diri mereka setelah euforia yang mereka rasakan sebelumnya karena menaiki wahana ekstrem.

Soeun yang duduk di samping mengernyitkan alisnya ketika kekasihnya tersebut berusaha duduk lebih dekat. Tangannya yang ditautkan pada milik Soojin pun dirasa sedang digoda, telapaknya dielus lembut dari dalam membuat bulu kuduk Soeun merinding.

Merasa ada perubahan atmosfer, Monday tahu ini akan mengarah ke mana. Sehingga sebelum Soojin bertindak lebih jauh, ia membuka obrolan kecil.

“Soojin,” panggil Monday, membuat yang dipanggil menoleh dan berhenti mengelus telapak tangan Soeun.

“Iya?”

“Aku mau nanya. Kamu suka dipanggil pake pet names, kan? Suka pet names dari aku atau Soeun?”

Sungguh. Soeun tahu niat baik temannya tersebut tetapi tidak dengan pertanyaan ini, membuat dirinya merasa tidak percaya diri jikalau Soojin lebih memilih Monday nantinya.

“Dua-duanya aku suka. Puppy, princess, or sunshine are cute. I like it. Kamu tau kan aku gak bisa milih kalau ada sangkut-pautnya sama kalian,” jawab Soojin. Ia menundukan kepala, tidak berani menatap Monday. Berpikir bahwa dirinya tidak punya pendirian, selalu memilih dua-duanya di antara mereka.

“It's okay, puppy. Aku ngerti kok, cuman nanya buat iseng aja. Sepi banget dari tadi,” timpal Monday setelahnya.

Senyuman terukir di wajah Soojin, ia mendekat lalu mengecup bibir Monday sekilas, begitu pun dengan Soeun, membuat keduanya diam layaknya sebuah patung.

“Sebelum pulang, boleh aku minta sesuatu?” Kali ini Soojin yang bertanya. Monday dan Soeun pun menganggukan kepala, mereka akan mengabulkan permintaan Soojin, apapun itu.

“Can we have sex before we go back to Seoul?”

Namun, untuk yang ini. Soojin seharusnya berhati-hati akan permintaan yang ia minta.

Di kamar, Soojin melempar ponsel miliknya ke arah ranjang, setelah itu beranjak dari sana menuju kotak P3K yang ada di sudut ruangan.

Napasnya tidak beraturan, Soojin merasa tulangnya seperti remuk perlahan, menghasilkan rasa sakit yang luar biasa. Keringat juga mulai mengalir dari pelipisnya, turun ke leher karena tubuhnya merasa demam, panas.

“Bajingan!” batinnya ketika tidak menemukan satu butir supresan pun di sana. Soojin lupa kalau supresannya sudah habis di heat sebelumnya dan ia belum sempat membeli yang baru.

Perlahan Soojin merintih di lantai, memeluk tubuhnya sendiri sampai seseorang datang dan menghampirinya.

“Soojin, hei!” teriaknya panik.

“S-Sumin, bawa supresan gak? Hng..”

Gadis yang dipanggil Sumin itu pun semakin panik dan ia menggelengkan kepalanya.

“Aduh, anjir! Gue gak bawa, kan ke sini gue mau ngajak lo main awalnya! Duh.. gimana nih?”

Sumin menoleh ke arah sekitar ruang kamar Soojin, berusaha mencari sesuatu agar omega di hadapannya bisa sedikit lebih tenang.

“Bawa mobil gak?” tanya Soojin tiba-tiba, membuat Sumin kebingungan setengah mati tapi kemudian ia menjawab bahwa dirinya membawa mobil. “A-anterin gue, ke apartemen Soeun.. ma-masih inget kan?”

“Soojin, lo gila apa?! Gimana kalau ayah lo tau?”

“BAWA GUE KE SONO, SUMIN!!”

Mendengar nada suara Soojin yang meninggi, omega bermarga Bae itu akhirnya menggendong Soojin dengan gaya bridal dan membawanya ke dalam mobil.

Di dalam mobil, Soojin memberi nomor ponsel Soeun dan menyuruh anak dari teman ayahnya itu untuk memberitahu sang Alpha agar segera berada di apartemennya.

“Soojin, kalau Soeun belum dateng gimana? Kata lo dia di rumah Jimin?” Sumin bertanya. Ia takut kalau Soojin kenapa-napa saat ia tinggal nantinya.

“Bawa gue ke dalem aja, kunci apartnya abis itu.”

Sumin menoleh, menatap omega yang tengah kesakitan itu dengan tatapan heran.

“Lo tau sandi apartemennya?” tanya Sumin yang dijawab anggukan lemah oleh Soojin.

Sumin hanya bisa mendesah kesal. Ia tidak bisa melakukan apapun jika Soojin ingin sesuatu. Sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. Bahkan mobilnya kini sudah dipenuhi oleh wangi feromon Soojin yang sangat menyengat, lebih dominan kamomil dibanding lavendernya.

Gila.

Itu adalah satu kata yang menggambarkan Lee Soojin sekarang. Satu kata yang sering diucapkan Jaehee setelah ia mengungkapkan rencananya.

Soojin itu sama seperti kakaknya, bebal. Ia tidak suka diperintah. Namun, apa yang bisa gadis paling bungsu itu lakukan sekarang?

Kakaknya hidup bebas, tidak diikat oleh tali yang ayah mereka genggam. Kakaknya bisa menjadi apa yang ia inginkan, bisa bersama seseorang yang ia mau.

Soojin?

Jaehee benar. Soojin tidak pernah mau keluar dari zona nyamannya. Apa salahnya tidak mendengarkan orang tua jika hal yang mereka larang adalah sumber kebahagian kita?

Soojin mengusap wajahnya kasar, menenggak sekali lagi minuman beralkohol di depannya.

Sudah berapa lama ia menunggu Soeun untuk datang? Rasanya seperti bertahun-tahun. Soojin hendak beranjak pergi ke kamar mandi jika pelayan restoran tidak datang dengan Soeun saat itu.

“Oh, gue lama, ya? Lo mau balik?” tanya Soeun dengan canggungnya.

Soojin menggelengkan kepala lalu duduk kembali di kursinya.

“Enggak, tadi gue mau ke toilet bentar. Eh, lo dateng. Duduk gih,” ujarnya.

Soeun tentu saja menuruti perkataan yang lebih tua. Duduk di kursinya dengan punggung tegak dan tubuh kaku, menatap ke arah Soojin dan meja secara bergantian.

“Mau pesen makan apa?” tanya Soojin sambil membaca menu di restoran tersebut.

“Uhm, bebas. Samain aja sama lo,” jawab Soeun.

Ketika dirinya tidak pernah pergi ke restoran mahal dan tidak mau menjadi beban bagi Soojin karena semua dibayar oleh omega itu, begitulah jawaban Soeun.

Tidak mau membuang waktu, Soojin mengiyakan saja dan memesan dua makanan juga minuman untuk mereka berdua. Disaat pelayan pergi, kini mereka berdua saling diam, tidak ada yang berbicara satu sama lain sampai akhirnya Soojin membuka percakapan.

“Mau to the point aja,” katanya, membuat Soeun sendiri gemetar. Soojin mau membicarakan apa? Kejadian di masa lalu itu? Atau apa?

“Jadi heat partner gue mau gak?”

“Hah?”

Mendengarnya Soeun hanya bisa diam, menatap omega di hadapannya dengan tatapan kebingungan. Selama ia mengenal Lee Soojin, omega itu tidak pernah mau memiliki heat partner. Soeun pernah bertanya padanya waktu masih remaja dan Soojin bilang kalau ia tidak mau melakukan hal seberbahaya itu.

Soojin lebih memilih menghabiskan waktu heat-nya kesakitan di dalam kamar, merintih dan mengerang sampai tiga hari ke depan daripada harus bersetubuh dengan alpha liar yang bahkan mungkin Soojin tidak tahu latar belakangnya.

“Soojin, kalau bokap lo tau gimana?”

“Enggak akan. Gue janji,” jawabnya dengan penuh keyakinan. Netra cokelat omega itu kini menatap Soeun lekat, seakan ingin mengatakan sesuatu yang lebih serius.

“Ini mudah. Gue bakal dateng ke lo kalau gue lagi heat dan lo bakal dateng ke gue kalau lagi rut. Gue pastiin ayah gak akan tau,” ujar Soojin.

“Tapi lo dulu pernah bilang gak mau begituan karena alpha liar yang bahkan latar belakangnya aja belum pasti buat lo,”

“Makanya gue minta ini ke lo karena apa?” Soeun menggelengkan kepalanya karena ia sungguh tidak tahu apa alasan omega itu meminta hal tersebut padanya. “Karena gue kenal lo dan gue tau latar belakang lo.”

Soeun ingin rasanya menolak. Ia tidak mau mengambil konsekuensi jika semuanya terbongkar, tapi di sisi lain, Soeun rindu pada Soojin. Pada omega berferomon lavender dan kamomil itu.

“Oke, gue setuju.”