Angin Laut dan Mahogani

Park Soeun sebenarnya tidak masalah jika manajernya membutuhkan dirinya sekarang, menggantikan posisi kedua teman kerja yang entah kenapa tiba-tiba sakit. Ia sungguh tidak masalah, justru ia sedikit senang karena bisa bekerja, mengalihkan perhatiannya dari Soojin yang faktanya sedang berkencan dengan alpha lain.

Ya, seharusnya Soeun senang, bukankah begitu?

Tetapi ketika alpha bermata monolid itu sudah siap di posisinya sebagai pelayan restoran cepat saji tersebut, pemandangan yang selama ini ia harap tidak pernah ia lihat akhirnya muncul.

Soojin dengan ayah dan seorang alpha sedang duduk di salah satu meja, hampir berada di tengah restoran dan Soeun bisa melihat dengan jelas.

Omega bermarga Lee itu tampak bahagia, senang Soeun pikir. Entah apa yang mereka bertiga bicarakan, Soeun tidak bisa mendengarnya, seakan indera pendengarannya dicabut dan waktu berjalan lambat.

Tidak, Soeun seharusnya bersikap biasa saja. Ia tidak seharusnya sakit hati karena faktanya, ia hanyalah heat partner bagi Soojin, itu saja. Tidak pernah lebih.

Soeun tidak menyalahkan manajernya, tidak juga menyalahkan ketiga insan itu. Ia lebih memilih menyalahkan dirinya.

Kenapa ia setuju untuk menjadi heat partner Soojin? Kenapa ia setuju saat Soojin ingin menjauhi dirinya dulu?

Soeun menyalahkan dirinya karena tidak bisa bertindak tegas atas apa yang ia mau sebenarnya. Atau mungkin, ia hanya tersesat, tidak tahu harus bagaimana.

“Soeun, ada pengunjung di meja 27, ayo cepat.” Manajernya berbisik, seakan tahu bahwa dirinya sedang melamun saat itu.

Soeun tentu saja dengan sigap menuju meja yang disebut manajernya, meja yang dekat dengan tempat di mana Soojin berada.

Soojin menghentikan aktivitas makannya ketika indera penciumannya mencium feromon yang sangat ia kenali; angin laut. Dengan sedikit panik, Soojin sedikit menolehkan kepalanya, menatap Soeun yang kini sedang mencatat pesanan pengunjung lain dari punggungnya.

Saat itu juga, Soojin ingin membuat mereka pergi dari tempat tersebut.

Namun, belum sempat Soojin mengutarakan keinginannya, sang Ayah sudah lebih dulu menyadari keberadaan alpha bermarga Park tersebut.

Tuan Lee menepuk pelan tangan Soeun ketika alpha tersebut ingin pergi menyerahkan pesanan pada juru masak. Tentu saja hal tersebut membuat Soeun mengurungkan niatnya lalu menatap Tuan Lee, takut.

“Oh, ya ampun. Saya kira kamu lagi gak kerja,” ujarnya, basa-basi.

“Ah, halo om Lee. Memang bukan shift saya, om. Cuman tadi disuruh gantiin temen lagi sakit,” jawab Soeun ramah, sangat ramah. Ia berusaha menepis kenyataan bahwa alpha di hadapannya ini pernah melakukan hal buruk padanya.

Heesung dan Soojin hanya bisa diam, mereka tidak bisa melakukan apa pun jika situasinya seperti ini. Soojin sendiri ingin rasanya menarik sang Ayah keluar, membiarkan Soeun melakukan pekerjaannya.

“Ahahaha, sudahlah Soeun. Jangan bohong.”

“M-maksudnya apa, ya?”

“Saya tahu kamu minta manajermu untuk dapet kerja hari ini karena liat berita bahwa direktur perusahaan Lee Enterprise dan anaknya sedang kencan di restoran tempatmu bekerja, iya bukan?”

Detik ini, Soeun meminta tolong pada siapa pun untuk menelpon temannya agar datang. Ia tidak mau menyerang Tuan Lee hanya karena alpha berferomon mahogani itu memancing amarahnya.

Soeun tersenyum, berusaha menyembunyikan kemarahannya, “Tidak, om. Saya beneran diminta manajer untuk kerja gantiin temen saya.”

Tuan Lee beranjak dari kursinya, ikut tersenyum juga. Soeun hanya bisa menarik napas dalam-dalam lalu kemudian berbisik padanya.

“Jangan bohong, Soeun.”

“S-saya gak bohong, saya berkata jujur. Om bisa tanya manajer saya,” jawabnya dengan suara bergetar.

Atmosfer ini lagi. Soeun tidak suka, ia takut, ia trauma.

“Jangan. Bohong.” Tuan Lee mengatakannya dengan tekanan di setiap kata, membuat Soeun gemetar.

“Saya bersumpah, saya tidak bohong. Bahkan saya tidak tahu kalian bertiga akan ke sini.”

“Jangan bohong, Soeun!! Saya tahu maksud kamu apa!”

“SAYA GAK BOHONG!!”

Mendengar suara Soeun yang meninggi, juga feromon angin lautnya yang perlahan berubah menjadi kayu bakar, Soojin beranjak dari kursi, hendak memisahkan mereka berdua.

Namun, belum sempat Soojin memisahkannya, sang Ayah terlihat mengambil minuman soda yang ia punya, membuka tutup minuman tersebut lalu menuangkannya di atas kepala Soeun.

“Jangan berharap alpha kayak kamu bisa dapetin Soojin, kamu bahkan gak setara sama dia. Jadi, jauhin Soojin, sudah saya bilang dari dulu.”

Soeun menundukan kepalanya saat mendengar perkataan seperti itu. Feromonnya kembali berganti, memutuskan untuk menenangkan diri karena ia tahu, Soojin bisa saja pingsan menghirup dua feromon yang begitu kuat sedari tadi.

“Ayo, pergi,” kata Tuan Lee dengan angkuhnya. Ia juga menatap ke arah Soojin yang terlihat sedang kebingungan, takut, dan lainnya. Semua emosinya bercampur saat itu.

Soojin tidak tahu harus apa, haruskah ia bersandiwara atau melakukan yang seharusnya ia lakukan; membantu Soeun.

Pikirannya terlalu kacau saat itu, jadi Soojin lebih memilih, “Tolong, jangan ganggu aku lagi, Soeun. Enyahlah.”

Tuan Lee tersenyum, sedetik kemudian mereka berjalan keluar dengan Heesung yang diam-diam menatap iba Soeun.

“Soeun?” panggil manajernya karena Soeun tetap bergeming satu menit kemudian, baju kerja dan kepalanya basah karena air soda yang ditumpahkan Tuan Lee.

“Maaf, pak. Saya melakukan kesalahan hari ini, Anda bisa memecat saya. Permisi,” kata Soeun lirih.

Alpha bermata monolid itu berjalan keluar lewat pintu belakang, meninggalkan manajernya yang kebingungan setengah mati melihat kejadian barusan.

Di satu sisi, Soojin baru sadar, tindakan yang ia pilih adalah kesalahan besar lain di hidupnya.