Tentang Lavender
Sudah satu bulan yang lalu semenjak Soojin mengalami kejadian buruk yang tidak pernah mau ia ingat tersebut. Kejadian yang kerap kali membuatnya selalu waspada setiap di kelilingi oleh alpha selain Soeun, kekasihnya.
Ah, kekasih, ya? Sekarang ia bisa memanggil Soeun sebagai kekasih atau lebih tepatnya adalah mate.
Tidak pernah terpikirkan oleh Soojin sebelumnya bahwa akhirnya sang Ayah menyetujui hubungan mereka walau alpha berferomon mahogani itu harus pergi jauh entah ke mana, meninggalkan Soojin seorang diri sebagai anggota keluarga Lee di Seoul.
Tidak masalah, lagipula dirinya terbiasa sendiri. Menjauh dari orang-orang agar tidak ada yang tahu apa yang sedang ia pikirkan saat itu yang dimana akhirnya, ia dekat dengan orang-orang yang ia mau.
Sebuah keluarga kecil yang menerima dirinya apa adanya. Teman Soeun, teman Jaehee. Ya, walau ia belum sedekat itu dengan model ternama Zoa atau Jo Hyewon lebih akrabnya dan Hyo Jihan atau Han Jihyo nama aslinya.
Mereka saling mengenal sekarang, apalagi dengan pernikahan Jimin dan Jaehee yang akan diselenggarakan beberapa hari lagi.
Berbicara soal pernikahan, seharusnya Soojin tahu bahwa ayah dan ibunya tidak cocok satu sama lain. Mereka adalah mate, memang. Namun, lihatlah sekarang? Berjalan di kehidupan mereka masing-masing.
Soojin tahu bahwa ketika ibunya mulai membentak sang Ayah dan ayahnya mulai main tangan dengan sang Ibu, mereka bukanlah pasangan yang ditakdirkan.
Teriakan, tangisan, piring pecah, semua yang Soojin dengar saat anak-anak masih membuatnya takut sampai sekarang ini. Erangan kesakitan yang dulu ia dengar karena kedua orang tuanya menolak satu sama lain, bercerai, membuat keduanya dalam fase yang sangat menyakitkan.
Sang Ibu pergi dengan kakaknya, melepas marga Lee begitu mudahnya dan menjalani kehidupan sebagai orang asing di negara lain. Rindu? Tentu saja. Soojin rindu dengan kakak perempuannya, rindu dengan orang yang memberikannya mata seindah ini.
Memikirkan hal tersebut, Soojin takut. Soojin takut hubungannya dengan Soeun akan berakhir sia-sia, rusak seperti keluarganya. Ia takut menyakiti Soeun lagi, ia takut membuat alpha itu menangis.
Tangan Soojin gemetar membayangkannya; di masa depan ia akan meraung kesakitan karena Soeun mengatakan, “I reject you.” sebagai penolakan bahwa ia adalah mate-nya.
“Soojin?” panggil asistennya dari luar ruangan. Omega itu mendongak, menatap sayu pintu ruangan kerjanya. “Udah malem, kantor juga sepi. Mau pulang bareng?”
Beta tersebut menawarkan tumpangan padanya. Semua orang tahu akan kejadian satu bulan lalu sehingga orang yang ada hubungannya dengan Soojin sudah disuruh oleh ayahnya agar menjaga anak bungsu kesayangannya itu.
“Iya, bentar. Aku beresin meja dulu,” jawabnya.
Soojin beranjak dari kursi lalu tak sengaja menatap pantulan dirinya dari cermin yang ada di sana. Baju turtleneck berwarna hitam itu berhasil menutupi kissmark yang ditinggalkan Soeun semalam.
Benar. Beberapa hari setelah kejadian itu, Soeun memperlakukannya dengan lembut, sangat lembut. Bahkan selalu bertanya ada yang sakit atau meminta izin terlebih dahulu pada Soojin sebelum mereka melakukannya.
Soojin menyentuh bekas ciuman Soeun di lehernya lalu mengelusnya lembut, pikirannya melayang ketika pertama kali alpha itu mau menandainya.
Mengelus, mengecup, menjilat, semua Soeun lakukan sebelum akhirnya menggigit leher omega tersebut, menandainya sebagai miliknya. Dan setelah itu berbisik pelan di telinga Soojin, “Aku sayang kamu.”
“Soeun,” lirihnya tanpa sadar sambil memejamkan mata dan jemarinya terus mengelus area sekitar leher tersebut, berharap Soeun menandainya lagi.
“Soojin? Udah belum?” tanya asistennya ketika merasa tidak ada suara berisik barang dari dalam ruangan Soojin.
Omega itu tersadar dari imajinasi liarnya dan kemudian hanya mengambil beberapa berkas penting lalu keluar dari ruangan tersebut, tersenyum menatap sang Beta.
“Ayo, pulang. Ke penthouse, kan?” tanyanya.
Dan Soojin menjawab pertanyaan itu dengan anggukan kepala dan sebuah senyuman.